1. Mengenal Jenis Ibadah
2. Bolehkah menggabungkan niat dua ibadah yang berbeda sebabnya dalam satu pelaksanaan ?
ini merupakan masalah yang penting dan banyak yang menanyakannya. Saya (Syaikh Ihsan Al Utaibi) ingin membuat pembahasan tersendiri-seiring dengan permintaan dari sebagian rekan-mudah-mudahan ada manfaatnya.
Yakni berkaitan dengan penggabungan niat dalam satu amal.
Saya katakan:
Pertama, wajib untuk kita ketahui bahwa amal-amal ada yang berdiri sendiri dan memiliki keutamaan, sementara yang lain ada yang mutlak dan tidak (memiliki keutamaan khusus).
Sebagai contoh:
Sholat Dhuha dan Sholat Tahiyatul Masjid
Apabila kita perhatikan dalam hadits-hadits nabawi, kita dapatkan bahwa Sholat Dhuha memiliki hukum tersendiri dan keutamaan khusus, maka ini adalah jenis ibadah yang bersendiri sendiri.
Adapun Tahiyatul Masjid tidaklah demikian. Barang siapa yang masuk ke dalam masjid kemudian sholat fardhu, atau sholat (sunnah) fajar atau sholat istikharoh atau menemui jama’ah kemudian sholat bersama dengan mereka; maka sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya dan tidak melakukan hal yang terlarang. Dia tidak diwajibkan untuk mengqodho sholat tahiyatul Masjid.
Sesungguhnya syariat yang bijak melarang seseorang masuk ke dalam masjid untuk duduk kecuali setelah duduk sholat, dan (asalnya) tidak memerintahkan untuk sholat tertentu. Maka sholat apa saja yang dilaksanakan (ketika masuk masjid) maka ia bebas dari larangan dan telah malaksanakan perintah.
Sedangkan barang siapa yang masuk ke dalam masjid dan sholat berniat tahiyatul masjid-secara khusus- maka tidak cukup untuk melaksanakan sholat sunnah zhuhur (juga), misalnya.
Apabila masuk ke dalam masjid dan sholat dengan niat sunnah zhuhur maka ia bebas dari larangan untuk duduk sebelum sholat sehingga tidak diharuskan untuk mengqadho sholat tahiyatul masjid.
Namun bila sholat dengan niat tahiyatul masjid, kemudian (setelahnya) iqomah untuk sholat zhuhur maka ia bisa mengqadho sholat sunnah setelah sholat fardu zhuhur.
Apabila seseorang telah faham mana (ibadah) yang sejenis dengan “tahiyatul masjid” dan mana yang serupa dengan Dhuha maka selesailah masalah ini.
Contoh-contoh yang mirip dengan sholat tahiyatul masjid
1. Perintah untuk melaksanakan sholat bersama dengan jama’ah bagi yang telah sholat sebelumnya
Ada sebuah hadits yang masyhur dalam “Assunan” bahwa Nabi Shallallahu ‘alaiihi wasallam mengingkari orang yang datang ketika jema’ah sedang sholat fajar dan tidak ikut sholat dengan berargumen bahwa ia telah sholat di tempatnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka untuk sholat bersama dengan jama’ah dengan dihitung sebagai sholat nafilah (sunnah).
Maka orang yang datang ini apabila sholat bersama dengan jema’ah dengan niat apapun maka telah mencukupinya. Yang menjadi substansi atau maksud bukanlah untuk mengerjakan sholat tertentu, namun “berjama’ah”, yakni agar ia tidak duduk sendirian dalam masjid, sementara orang-orang sholat.
Apabila orang yang masuk ini mendapatkan dua raka’at kemudian Imam Salam, maka ia (harus) salam. Sementara bila hanya mendapatkan satu raka’at -pada Sholat Isya misalnya- atau tiga rakaat maka ia juga salam bersama dengan imam dengan meniatkannya sebagai sholat Witir.
2. Puasa Senin dan kamis
Demikian juga dalam masalah ini dikarenakan tidak ada keutamaan khusus untuk berpuasa pada dua hari ini-seperti shaum Arafah, ‘Asyura misalnya. Bahwasannya amal-amal akan diangkat kepada Allah pada tiap hari senin dan Kamis, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam suka bila pada saat diangkat amal beliau, beliau sedang dalam keadaan berpuasa.
Apabila seseorang berpuasa Qadha (pengganti) atau nadzar, atau kafarah atau puasa syawal atau ayyamul Bidh (pertengahan bulan) maka sesungguhnya hadits (hari senin dan kamis) masuk juga untuk diterapkan, yakni diangkat amalnya sementara ia dalam keadaan berpuasa.
Kami menganggap sunnah barang siapa yang ingin berpuasa pada enam hari bulan syawal untuk bersemangat di hari senin dan kami, dan tidak kami katakan di sini dalam rangka menggabungkan niat ! hal ini dikarenakan puasa senin dan kamis bukanlah puasa yang berdiri dengan sendirinya, bahkan tidak memiliki asal tersendiri. Maka bagaimana mungkin seseorang menggabungkan niat yang mutlak (shaum senin) dengan niat yang muqayyad –terikat- (shaum syawwal).
Yang benar bahwasannya tidak boleh bagi seorang muslim untuk menggabungkan antara dua ibadah yang masing-masing memiliki keutamaan tersendiri, atau perkara yang berlainan.
Misalnya; tidak boleh digabungkan antara puasa qadha ramadhan dan nadzar.
Tidak pula antara qadha ramadhan dengan enam hari bulan syawal, hal ini dikarenakan maksud dari hadis adalah seseorang berpuasa selama sebulan dan enam hari, apabila menggabungkan antara dua niat maka ia hanya berpuasa sebulan saja.
Dan ini menyelisihi maksud dari hadits yakni seseorang berpuasa selama sebulan dan enam hari. Teriwayatkan dalam sunnah yang menjelaskan bahwa inilah maksud haditsnya. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “barang soapa yang berpuasa enam hari setelah idul fitri maka menyempurnakan setahun, (karena) barang siapa yang melaksanakan satu kebaikan maka akan dibalas dengan sepuluh balasan yang semisalnya”
Wallahu a’lam,
Semoga ada manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar