Minggu, 05 September 2010

Televisi, Corong baru Liberalisasi dan Sekulerisasi

Pada beberapa kesempatan yang lalu, tepatnya pada malam idul fitri, saya singgah di rumah saudara. Pada kesempatan itu, keluarga saudara saya pun menyaksikan program siaran televisi. Secara tidak sengaja, program yang ditonton adalah suatu dialog di Metro TV yang dipandu oleh Meutia Hafidh. Dialog tersebut mengangkat tema khilafah islamiyah dan secara spesifik berjudul Demokrasi Vs Khilafah. Judul tersebut telah demikian eksplisitnya menunjukkan bahwa di masyarakat kita telah berkembang pemikiran-pemikiran ataupun ideology yang bersebrangan dengan ideology nasional dan disahkan oleh undang-undang. Pada kondisi tersebut, tidak ada lagi tindakan pemberangusan secara tegas dan keras dari pemerintah ataupun penegak hokum yang dulu biasa terjadi di masa orde baru. Mungkin ini adalah salah satu “nikmat” yang bias kita rasakan di alam reformasi (baca:kebebasan) yang dulu diusung demikian gempita penuh euphoria dari segenap masyarakat, khususnya mahasiswa, para “intelek” muda.


Sebagai pembicara, dihadirkan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ir. Yusanto, dan dua orang dari pihak yang bersebrangan yaitu Abdul Muqshit AlGhozali dari UIN Jakarta dan Dimas (lupa namanya, akan dilengkapi datanya, insya Allah) yang mewakili Universitas Paramadhina. Hizbut Tahrir, sudah diketahui bersama bahwa spirit utama perjuangan dan dakwah mereka adalah menegakkan khilafah islamiyah di dunia sebagai satu system pemerintahan kaum muslimin dari seluruh belahan bumi. Dengan khilafah Islamiyah tersebut, diupayakan ditegakkan hokum-hukum Allah di bumi, terbelanya hak-hak kaum muslimin dan hidupnya kekuatan islam dan kaum muslimin yang kurang lebih selama 80 tahun terakhir hamper tak bersuara, redup oleh auman hegemoni barat. Sementara  itu, Abdul Muqshit Alghozali (selanjutnya disingkat AMA) dan Dimas adalah pihak dari liberalis, sekuleris, penentang hal-hal yang berbau penerapan syariat islam, dalam elemen kehidupan apapun. Dilihat dari pengaturan yang hadir sebagai narasumber, sebenarnya kita bias memperkirakan bahwa forum ini, telah diskenariokan untuk mengkritisi, lebih tepatnya mementahkan satu system islami yaitu khilafah islamiah dan berupaya mengunggulkan system sekuler nan kufur, demokrasi. Pertama, pihak pembicara dari yang pro khilafah islamiah hanya satu sementara dari pihak lain ada dua, tepatnya tiga ditambah Meutia Hafidz yang berperan secara ghaib mendukung dua narasumber lainnya. Selanjutnya, yang dihadirkan sebagai narasumber selain jurubicara HTI adalah pihak-pihak yang jelas vocal menentang upaya-upaya penegakkan syariat islam, bukan pihak yang bersikap netral atau tokoh islam yang mewakili banyak kaum muslimin dan dianggap memiliki banyak ensiklopedia ilmu keislaman. Penonton yang hadir pun telah dikondisikan untuk cenderung mendukung kedua narasumber yang menentang khilafah islamiah. Hal ini terlihat dari tepuk tangan dan tawa yang berbahak-bahak penonton manakala sang narasumber liberalis sedang mengemukakan pendapatnya ataupun membuat gurauan sebagai upaya pelecehan terhadap konsep khilafah islamiah. Beberapa kali, Ir. Yusanto dijadikan bahan ejekan dan ia harus menahan emosi menghadapi narasumber liberalis.

Dalam tulisan ini, saya lebih ingin menekankan bahwa mayoritas media informasi berupa televise sekarang ini telah diprogramkan sedemikian gencarnya untuk mengusung ideology sekulerisme dan liberlisme dan sebaliknya berupaya memberangus setiap gerakan yang ingin menampakkan islam sesuai jatidirinya. Propaganda mereka demikian hebat nan sistematis untuk menghalangi ditinggikannya kalimat Allah ‘Azza wajalla. Metro TV adalah di antara mereka yang berada di barisan terdepan dalam upaya-upaya ini. Meutia Hafidz, Rizal Malarangeng adalah beberapa pentolan yang sering menjadi pemandu acara-acara yang selaras dengan spirit ‘berangus islam”.

Serang (Banten), Syawal 1429

Tidak ada komentar:

Posting Komentar